Selasa, 08 Maret 2016

Book Review: Reclaim Your Heart by Yasmin Mogahed


Bismillahirramanirrahim...

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sekitar bulan Januari lalu, saya mendapatkan sebuah buku yang telah lama saya nanti-nantikan. Sebenarnya sejak buku ini terbit di negara asalnya sana, pada tahun 2012 lalu, saya begitu ingin membacanya. Sayangnya, waktu itu buku ini belum terbit di Indonesia. Jadi saya menunggu. Lalu, sekitar tahun 2014 buku ini terbit dan jujur saja, saya baru tahu kira-kira tahun lalu itupun karena iseng mencari-cari di toko buku online. Saya tidak langsung membelinya karena ada beberapa buku yang belum selesai saya baca. Jadi , saya pikir nanti saja. :)

Alhamdulillah penantian saya tidak sia-sia. Buku Reclaim Your Heart (Rebut Kembali Hatimu) oleh Yasmin Mogahed ini benar-benar sangat layak dibaca oleh siapapun, terutama oleh orang-orang yang sangat membutuhkan kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan. Buku yang "seolah-olah ditulis untuk saya" ini (mengutip kata-kata opini salah seorang pembaca) benar-benar mengajarkan kepada kita untuk menjalani kehidupan tanpa harus menjadi budak kehidupan. Buku yang membebaskan hati kita dari perbudakan yang selama ini tidak kita sadari atau mungkin kita sadari. Kehidupan sehari-hari serta aktivitas rutin yang kita selalu dan sedang kita jalani kadang membuat kita lupa untuk melindungi harta kita yang paling berharga: hati.

Berikut merupakan beberapa bagian dari buku ini.



Bagian: Keterikatan
Sub judul: Mengapa Orang-Orang Harus Saling Meninggalkan?
Orang-orang yang telah membuat saya kecewa tidak dapat dipersalahkan, sama seperti gravitasi yang tidak bisa dipersalahkan karena menjatuhkan dan memecahkan jambangan. Kita tidak bisa menyalahkan hukum fisika ketika sebatang ranting patah karena kita bersandar padanya. Ranting tidak pernah diciptakan untuk menahan beban kita.
Begitulah jika kita hidup di dunya dengan hati kita. Menghancurkan kita. Itulah kenapa dunya ini menyakitkan. Karena definisi dunya, sebagai sesuatu yang sementara dan tidak sempurna, bertentangan dengan segala sesuatu yang diciptakan untuk kita dambakan. Allah menempatkan hasrat di dalam diri kita yang hanya bisa terpenuhi dengan apa yang kekal dan sempurna. Dengan berusaha menemukan pemenuhan di dalam apa yang fana, kita hanya berlari mengejar hologram, fatamorgana. Kita menggali beton dengan tangan kosong. Berusaha yang mengubah sesuatu yang pada dasarnya bersifat sementara menjadi sesuatu yang kekal sama seperti berupaya menyarikan air dari api. Kita hanya akan terbakar. Hanya ketika kita berhenti menaruh harapan pada dunya, hanya ketika kita berhenti berusaha mengubah dunya menjadi sesuatu yang bukan sifatnya dan takkan pernah menjadi sifatnya (jannah)--barulah kehidupan ini akhirnya berhenti mematahkan hati kita. 


Bagian: Keterikatan.
Sub judul: Demi Mencintai Karunia. 

Ingatlah, ada dua tempat untuk menyimpan sesuatu: di tangan atau di hati. Di mana kita menyimpan karunia-karunia itu? Sebuah karunia tidak disimpan di hati. Karunia di simpan di tangan. Jadi, ketika karunia itu diambil, rasa kehilangannya menimbulkan kepedihan di tangan--bukan di hati.

Kita semua  mencintai karunia. Kita semua mencintai anugerah yang memperindah kehidupan kita. Kita mencintai anak-anak, pasangan, orang tua, dan teman-teman kita. Kita mencintai kemudaan dan kesehatan kita. Kita mencintai rumah, mobil, uang, dan kerupawanan kita. Tapi, apa yang terjadi ketika karunia menjadi lebih sekedar karunia? Apa yang terjadi ketika keinginan berubah menjadi kebutuhan, pertolongan menjadi ketergantungan? Apa yang terjadi ketika karunia tidak lagi hanya itu?

Apakah karunia itu? Karunia adalah sesuatu yang bukan berasal dari kita. Sebuah karunia diberikan--dan bisa diambil kembali. Kita bukan pemilik asli karunia tersebut. Karunia juga tidak diperlukan dalam keberlangsungan hidup kita. Karunia datang dan pergi. Kita ingin dan senang menerima karunia--tetapi itu tidak diperlukan bagi keberadaan kita. Kita tidak bergantung padanya. Kita tidak hidup untuk menerimanya atau tidak mati jika tidak mendapatkannya. Karunia bukanlah udara ataupun makanan, tapi kita mencintainya. Siapa yang tidak mencintai karunia? Siapa yang tidak senang menerima banyak karunia? Kita meminta kepada Sang Karim (Yang Maha Pemurah) agar tidak menghalangi kita dari anugerah-Nya. Namun tetap saja, jangan sampai kita bergantung pada karunia atau anugerah itu atau jangan sampai kita mati karena kehilangannya. 


Ingatlah bahwa ada dua tempat untuk -karunia itu? Sebuah karunia tidak disimpan di hati. Karunia disimpan di tangan. Jadi, ketika karunia itu diambil, rasa kehilangannya menimbulkan kepedihan di tangan--bukan di hati. Siapa saja yang telah hidup cukup lama dalam kehidupan ini mengetahui bahwa kepedihan di tangan tidak sama dengan kepedihan di hati. Kepedihan di hati timbul karena kehilangan objek keterikatan, ketagihan, ketergantungan. Kepedihannya tidak seperti kepedihan mana pun. Tidak sama dengan kepedihan yang biasa. Kepedihan itu memberitahukan betapa kita baru saja kehilangan objek keterikatan--karunia yang disimpan di tempat yang keliru.

Kepedihan di tangan juga menyakitkan--tapi rasa sakitnya berbeda. Jauh berbeda. Kepedihan di tangan timbul kerena kita kehilangan, tapi bukan objek ketergantungan kita. Ketika sebuah karunia diambil dari tangan kita--atau tak pernah diberikan sama sekali--kita merasakan kepedihan akibat kehilangan yang manusiawi dan normal. Kita bersedih, kita menangis. Tapi, kepedihannya hanya ada di tangan, hati kita tetap utuh dan berdetak. Karena, hati kita hanya untuk Tuhan.

Dan untuk Tuhan semata.


Bagian: Penderitaan
Sub Judul: Kehidupan Ini Penjara atau Surga?


Saya sedang di bandara. Berdiri dalam baris keamanan, saya menunggu interogasi ritual saya. Saya berdiri di sana, saya melihat seorang gadis cilik beserta ibunya. Anak itu menangis. Jelas sekali bahwa dia sedang sakit. Sang ibu merogoh tas untuk mengambil obat untuk putrinya. Tersentak melihat kesengsaraan gadis itu, tiba-tiba saya menyadari sesuatu. Saya seolah-olah melihat seorang anak terjebak. Jiwa yang murni dan tidak berdosa ini terpenjara dalam tubuh duniawi, yang harus sakit, merasakan kepedihan, dan menderita.

Kemudian saya teringat pada hadits Rasulullah (s.a.w.), "Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir." (HR. Muslim). Untuk pertama kalinya, saya memahami hadits tersebut dalam cara yang berbeda dari sebelumnya. Saya rasa banyak orang salah menafsirkannya dengan berpikir bahwa orang-orang kafir bisa menikmati diri mereka sendiri dalam kehidupan ini, sedangkan orang-orang beriman harus dibatasi dengan hal-hal yang haram atau halal, dan harus menunggu sampai kehidupan ini, sedangkan orang-orang beriman harus dibatasi dengan hal-hal yang haram atau halal, dan harus menunggu sampai kehidupan berikutnya untuk menikmati diri mereka sendiri. Atau mungkin sebagian orang berpikir itu berarti bahwa hidup ini menyedihkan bagi orang-orang mukmin, namun kebahagiaan bagi kaum kafir.

Menurut saya, yang terjadi sama sekali bukan begitu.

Sekonyong-konyong, saya merasa seolah-olah dapat melihat realitas hadits ini dalam sosok gadis kecil itu. Saya memandang apa yang tampaknya seperti jiwa yang terpenjara karena jiwa itu seharusnya berada di dunia lain--dunia yang lebih baik, tempat dirinya tidak sakit lagi.

Tapi, apa yang terjadi jika sebaliknya? Apa yang terjadi ketika jiwa itu berpikir bahwa dirinya sudah berada di surga? Apakah jiwa itu mau berada di tempat lain? Di suatu tempat yang lebih baik? Tidak. Tepat di sinilah dia ingin berada. Bagi jiwa itu, tidak ada yang "lebih baik". Ketika berada di surga, Anda tidak bisa membayangkan berada di tempat yang lebih hebat lagi. Anda tidak mendambakan apapun lagi. Bahkan tidak lebih baik. Anda merasa puas, puas dengan tempat Anda berada. Itulah kondisi orang kafir. Allah berfirman,

Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami. (Yunus [10] : 7)

Bagi jiwa yang kafir, dunia yang menyakitkan, mengecewakan, dan fana ini adalah surga mereka. Hanya ini yang mereka ketahui. Bayangkan jika dunia dimana Anda harus jatuh, berdarah, dan akhirnya mati adalah satu-satunya surga yang Anda ketahui. Bayangkan penderitaan itu. Orang yang tidak mempercayai bahwa ada tempat yang lebih baik--yang mempercayai bahwa dunia ini adalah yang terbaik yang bisa ada--akan jadi sangat tidak sabar ketika hidup ini tidak sempurna. Mereka dengan cepat merasa gusar dan terpukul karena kehidupan ini seharusnya merupakan surga. Mereka tidak menyedari ada sesuatu yang lebih besar. Jadi, hanya inilah yang mereka inginkan. Hanya inilah yang mereka perjuangkan. Setiap upaya, setiap kemampuan, setiap kesempatan, setiap pemberian yang dianugerahkan kepada mereka oleh Sang Pencipta, digunakan untuk meraih kehidupan ini--yang tidak akan datang kepada mereka kecuali apa yang tertulis.

Jiwa mereka melekat pada tubuh duniawi karena mereka berpikir bahwa tubuh adalah satu-satunya surga. Atau akan menjadi surga. Jadi, jiwanya tidak rela dilepaskan. Berapapun harganya, ia ingin bertahan. Untuk merenggut jiwa dari "surga" tersebut pada saat kematian dianggap sebagai penyiksaan yang pernah ada. Allah menggambarkan kematian orang-orang kafir sebagai robeknya jiwa dari tubuh. Allah berfirman,

Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras. (An-Nazi'at [79]: 1)

Allah berfirman nyawa direnggut dengan keras karena jiwanya tidak rela melepaskan. Jiwa itu percaya bahwa ia sudah berada di surga. Ia tidak lebih menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar lagi. Jauh lebih besar lagi.

Bagi jiwa-jiwa yang beriman, keadaannya berbeda. Mereka merasa berada di dalam penjara--bukan surga. Mengapa? Apa itu tahanan? Seorang tahanan adalah seseorang yang terjebak. Seorang tahanan dijauhkan dari rumahnya, terperangkap, sementara ia ingin berada di tempat yang lebih baik. Tubuh duniawi adalah penjara bagi orang beriman, bukan karena hidup ini menyedihkan bagi mereka, tetapi karena jiwa-jiwa tersebut ingin berada di suatu tempat yang lebih besar. Jiwa-jiwa ini ingin berada di Rumah. Tidak peduli betapapun indahnya kehidupan ini bagi orang-orang yang beriman, dunia ini adalah penjara jika dibandingkan dengan kehidupan Sempurna yang menanti mereka. Jiwa ini melekat kepada Allah dan surga yang sejati bersama-Nya. Ia ingin berada di sana. Tapi, kehidupan duniawi ini mencegah jiwa-jiwa itu kembali--untuk sementara waktu. Kehidupan ini adalah penghalang, penjara. Meskipun hati-hati seorang mukmin berpegangan pada satu-satunya surga sejati di kehidupan ini, jiwanya masih mencari apa yang dibaliknya. Jiwanya masih mencari Rumah, tetapi jiwa ini harus terpenjara dalam jasad selama waktu yang ditentukan. Jiwa itu harus "melewati waktu", sebelum bisa dibebaskan kembali ke Rumah. Jiwa seorang mukmin tidak melekat pada tubuh yang memenjarakan. Ketika masa hukuman berakhir dan si tahanan dipersilahkan Pulang, ia takkan pernah terus berpegangan pada jeruji penjara tersebut. Oleh karena itulah, Allah menjelaskan kematian seorang mukmin dengan sangat berbeda. Allah berfirman,

Dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut.  (An-Nazi'at [79] : 2)

Jiwa orang yang beriman keluar dari tubuhnya dengan sangat mudah. "Masa hukuman" -nya sudah berakhir dan sekarang ia akan pulang. Ia tidak terus bertahan pada dunia ini seperti jiwa orang kafir yang berpikir sudah mendapatkan yang terbaik di sini.

Dan begitulah, saya tidak bisa membayangkan analogi yang lebih sempurna daripada yang digunakan oleh Rasulullah (s.a.w.) kita tercinta. Memang, hidup ini adalah penjara bagi orang yang beriman dan surga bagi orang kafir. Kita semua akan dipanggil kembali oleh pemanggil yang sama. Pertanyaannya adalah, akankah kita menjalani hidup sehingga panggilan itu terasa sebagai kebebasan? Panggilan kembali ke Rumah.


Dan masih banyak lagi bagian-bagian dari buku ini yang sangat menyejukkan, melembutkan, sekaligus menguatkan hati, serta penuh dengan makna dan pelajaran yang bisa dipetik. Semoga ulasan ini membantu dan bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Aamiin ya rabbal 'alamiin.

Wallahu a'lam bishawab.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jumat, 13 November 2015

What Important is.

Bismillahirramanirrahim...

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kadang-kadang saya sering merasa, bila ada seseorang yang saya kenal melihat saya dengan sikap atau pandangan mata tertentu yang membuat saya kurang nyaman, seringkali saya berpikir, apa yang telah saya lakukan? Apa salah saya ya? Mungkin ada bermacam-macam hal yang telah saya perbuat dan orang itu terkena imbasnya. Saya tidak tahu. Saya berharap bila saya melakukan suatu kesalahan terhadap orang itu, dia dapat memaafkan saya. Walau, mungkin saya hanya hipersensitif terhadap hal-hal semacam ini. Tapi, bila pikiran itu terlintas di benak saya, ada bagian diri saya yang lain yang selalu berkata, "Bagaimanapun sikap seseorang terhadap kamu, yang terpenting adalah kebersihan hatimu." Subhanallah walhamdulillah... Saya merasa sangat bersyukur dan terhibur dengan kata-kata tersebut. Yang tadinya saya merasa tidak nyaman, saya merasa menjadi lebih tenang. Mudah-mudahan dengan saya tetap menjaga kebersihan hati, saya dapat melunakkan hati orang-orang yang mungkin secara saya tidak tahu dan tidak sengaja telah saya sakiti.

Menjaga lisan adalah hal yang sangat penting. Lidah bisa menjadi lebih tajam dibandingkan pedang paling tajam di dunia ini. Karena itulah, berbicara yang baik-baik atau diam sangat dianjurkan dalam Islam. Selain lisan, menjaga kebersihan hati, pikiran, jiwa, dan raga juga sangat diharuskan malah teramat penting. Seperti saat kita akan shalat, kita diharuskan berwudhu atau mandi wajib untuk menghilangkan hadats kecil, atau mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar. Terlebih lagi hati, yang menggerakkan bagian diri kita yang paling penting, yaitu jiwa. Seperti sabda rasulullah saw.:


"Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia."(HR. Bukhari dan Muslim)
Hati ini juga hakikatnya adalah iman. Betapa pentingnya peran hati hingga menjadi penentu terhadap baik atau buruknya manusia. 

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala selalu membimbing kita agar kita dapat selalu menjaga kebersihan hati, dan melimpahkan rahmat serta barakahNya. Aamiin ya rabbal 'alamiin...

Wallahu a'lam.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Rabu, 21 Oktober 2015

Berkata Baik atau Diam

Bismillahirahmanirrahim.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

"Speak good or remain silent. Berkata baik atau diam."

Judul blog ini mengambil dari salah satu hadits Rasulullah s.a.w.. Sebagai seorang manusia, saya menyadari bahwa saya kerap melakukan banyak kekhilafan, salah satunya adalah yang berhubungan dengan lisan. Disadari atau tidak, saya mungkin sering mengatakan hal-hal yang menyinggung orang-orang di sekitar saya. Setiap hari, saya berusaha untuk mengurangi kekhilafan yang saya lakukan, walaupun justru sepertinya sebagai seorang manusia yang usianya semakin berkurang, justru dosa dan kesalahan terasa semakin bertambah saja.

Blog ini saya buat sebagai pengingat diri agar saya senantiasa berusaha melakukan hal-hal yang diridhai Allah S.W.T., baik perkataan, perbuatan, maupun hanya sekedar niat di dalam hati. Bukan berarti apa-apa yang saya tulis di blog ini menunjukkan saya adalah manusia yang penuh kesempurnaan. Subhanallah! Hanya Allah Ta'ala satu-satunya Yang Maha Sempurna. Sebaliknya, saya hanyalah manusia yang penuh dengan dosa, kesalahan, dan khilaf.

Saya berharap, semoga apa-apa yang saya tulis di blog ini bermanfaat baik bagi diri saya sendiri maupun orang lain yang membacanya, serta Allah S.W.T. meridhainya, aamiin ya rabbal 'alamiin...

Segala hal-hal yang benar datangnya dari Allah Ta'ala semata dan segala kesalahan adalah dari diri saya sendiri. 
Wallahu a'lam. 

Syukron.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.